MENANTI
KABAR AYAH
Awal tahun lalu saat
pergi merayakan tahun baru dengan ayah tercinta, Doni yang berboncengan dengan
ayahnya mengalami kecelakaan dipertengahan jalan yang waktu itu sangat ramai
kendaraan yang berlalu lalang, ban motor yang dibawa ayahnya pecah, sesaat
setelah melewati jalan yang berlubang karena waktu itu dalam keadaan kecepatan
tinggi,sehinngga ayahnya tidak dapat mengontrol laju motornya sehinnga terjatuh
, ayahnya yang mengendarai motornya terpental kepinggir jalan namun Doni terseret
motor ketengah jalan. Awalnya Doni hanya menderita luka tidak cukup parah , namun naas saat ia akan bangun ada mobil
pick-up melaju kencang dari arah yang berlawanan sopir mobil pick-up tidak
menyadari kalau didepannya ada anak yang tergeletak ditengah jalan, kaki kanan
Doni tertelindas mobil pick-up itu, yang
menyebabkan kakinya patah. “ Anakkuuuuu…………….” Teriakan sang ayah yang saat itu
melihat dengan jelas kaki anaknya tertelindas mobil, tidak lama setelah
kejadian itu orang – orang datang membantu membawa Doni dan ayahnya ke Rumah
Sakit.
Ayahnya hanya menderita lecet- lecet sehinnga diperbolehkan
pulang , namun Doni yang kaki kanannya patah harus dirawat dengan biaya yang
tidak sedikit , ayahnya memberi kabar kepada ibunya jika mereka kecelakan, Ibunya
datang ke Rumah Sakit.
Setelah beberapa lama dirawat dan kaki kanannya belum sembuh
total karena ayahnya tidak mampu lagi membayar biaya perawatannya, sehingga
diputuskan untuk membawa ia pulang. Kaki kanannya tidak sembuh seperti semula , ia harus berjalan pincang dengan tongkat.
Tiga bulan kemudian, ayahnya di berhentikan bekerja di pabrik
karena sering tidak masuk kerja untuk merawat anaknya, ibunya tidak sanggup
bila merawatnya sendirian sehingga ayahnya harus membantunya yang menyebabkan sering
tidak masuk kerja.
Setelah ayahnya tidak bekerja di pabrik lagi , keuangan
keluarga Doni memburuk, karena tidak kuat dengan keadaan itu, pada suatu malam ayahnya
Doni memutuskan untuk pergi merantau, namun ayahnya tidak memberitahukan kepada anak dan istrinya
bahwa ia pergi merantau, ia hanya berpamitan pergi untuk membeli kopi. Ayahnya
Doni pergi membawa tas kecil berisi pakaian yang telah disiapkan didepan
rumahnya. Doni dan ibunya tidak mengetahui jika ayahnya pergi merantau bukan
membeli kopi. Saat akan melangkah keluar dari halaman rumahnya ayahnya Doni
bertemu tetangga dekatnya yang saat itu lewat, “ kamu mau kemana ?” Tanya
tetangga “ saya mau pergi merantau kekota kecil di sebelah pulau ini “ jawab
ayahnya Doni.
Doni dan ibunya menunggu ayahnya pulang, sampai larut malam
dia belum juga pulang, “ Bu, ayah kok belum pulang ya ? Tanya Doni, “ paling
ayahmu dipos ronda ikutan siskamling, sudah sana tidur nanti juga ayahmu pulang
“ jawab ibunya Doni, Donipun pergi kekamarnya dan tidur.
Pagi hari datang, waktu sarapanpun tiba, biasanya tidak
sampai menunggu Doni, ayah dan ibunya sudah dimeja makan untuk menikmati
masakan ibunya, namun kali ini ayahnya tidak ikutan sarapan pagi, “ ayah kemana
bu ? “ Tanya Doni , “ mungkin ayahmu pergi pagi-pagi sekali sebelum ibu
bangun memasak untuk cari nafkah “ jawab
ibu, Doni percaya dengan kata-kata ibunya. Makan malam sudah siap meski hanya
dengan nasi dan garam saja, yang biasanya waktunya berkumpul semua anggota
keluarga, namun ayahnya belum juga pulang,
“ bu, sudah waktunya makan kok ayah belum juga pulang, apa
ayah masih mencari uang ?” Tanya Doni
“ ya sudah, kita makan dulu, nanti juga ayah pulang “ jawab
ibu. Sampai makan malam selesai ayah Doni belum juga pulang, mereka berdua
memutuskan untuk mencarinya.
Saat akan menutup pintu depan rumahnya tetangga dekatnya
datang sambil membawa makanan karena telah masak banyak, “ kalian mau kemana ?,
ini aku membawa makanan untuk kalian berdua “ tanya tetangga itu , “ aduh,
terimakasih banyak ya, jadi ngrepotin, kami mau cari ayahnya Doni dari tadi
pagi belum pulang “
“ lohhhh” tetangga itu heran “ bukanya suamimu pergi merantau
“
“ merantauuu ?? “ ibu Doni kaget “ kata siapa ?, suamiku
tidak bilang kalau mau pergi merantau , kamu tahu darimana suamiku pergi
merantau ?”
“ orang suamimu sendiri yang bilang tadi malam ketika mau
berangkat kepadaku kok,katanya dia akan merantau kekota kecil sebelah pulau
ini” jawab tetangga itu “ ya sudah , aku pulang dulu ya “
Doni menangis mendengar jika ayahnya pergi merantau, dan
ibunya shok mendengar itu semua dari tetangganya. Dengan rasa kecewa karena
suaminya tidak berpamitan kalau mau pergi merantau sambil mengajak Dino masuk
kedalam rumah.
Pagi harinya, Doni duduk melamun diruang depan sendirian
menanti ayahnya pulang, namun sampai sore hari ayahnya belum juga datang.
Doni duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam
ke-empatnya Doni termangu didepan pintu rumahnya, menunggu ayah.
Ayahnya pergi lima hari yang lalu kesuatu tempat di luar
kota, dan tiga hari setelah keberangkatan ayahnya, terjadi gempa hebat yang
meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan ayahnya.
Hampir seluruh tetangga iba melihat Doni , anak laki-laki
pincang berusia 10 tahun
yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar
kepastian sang ayah.
Pagi ini adalah hari kesembilan
setelah berita kejadian gempa itu, namun Doni belum mendapatkan kabar tentang ayahnya.
Setelah sarapan pagi, ia kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan
ini ia lakukan memeluk lutut di depan pintu kamarnya, tak sabar menanti kepastian kabar ayah.
Setiap hari, jantungnya berdetak lebih cepat jika mengingat
betapa dahsyatnya gempa itu. “Apakah Ayah selamat? Atau . . . .” Kalimat semacam itu yang selalu muncul
dalam pikirannya, lalu sebuah kalimat doa yang selalu terucap dalam hatinya
yang kemudian ia amini.
Tubuhnya bercucuran keringat dingin. Itu ketika ia mengingat masa-masa
bersama ayah. Ia gelisah,” mengapa belum juga mendapat kabar tentang Ayah?” Lalu
seperti biasa,berdoa pada Yang Maha Kuasa.
Tepat pukul 10.00, saat ia sedang melamun tiba-tiba ada
keramaian yang membuyarkan lamunannya, rangkaian kenangan tentang ayah yang
sedang ia lamunkan terurai seiring
semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumah, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba
jantungnya berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadinya tak berirama
lagi.
Sudah sembilan hari ia menunggu, dan akhirnya ia akan melihat
lagi wajah ayahnya, dia yakin, sangat yakin bahwa ayahnya ada didalam mobil
putih itu.
Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang dirasakan,
ia berlari menuju depan rumahnya yang entah mengapa ia merasa lebih jauh dari
biasanya.
Ia membuka pintu
depan. Sepertinya ia sudah ditunggu.
Entah dengan sengaja atau tidak, seorang wanita memeluk
tubuhnya dengan erat, sangat erat. Sampai-sampai tubuhnya terasa sakit karena
pelukan wanita itu yang sangat erat, wanita itu mengelus-elusnya sambil
samar-samar berkata “Sabar
ya! Kamu yang sabar!”
ditengah-tengah isakannya tangisnya. Doni merasa ada yang menetes didahinya,
rupanya air mata wanita , wanita yang memeluknya erat.
Wanita itu melepas pelukannya, tapi iapun tak melakukan
apa-apa selain berdiri di depan wanita yang merupakan tetangga terdekatnya.
Doni bingung saat ia melihat sekeliling rumahnya, ada banyak sekali warga. Wajah mereka
murung, sedih, dan bahkan
ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Jantungnya seperti
berhenti berdetak. Pikirannya mulai tak karuan “apa yang kira-kira terjadi pada ayah??”. Entah bagaimana ekspresinya saat ini, ia bahkan tak sempat
mengaturnya.
Beberapa saat kemudian, lewatlah empat orang pria berpakaian
putih. Seperti para perawat. Mereka membawa besi persegi panjang, ia tak tahu apa
nama besi persegi panjang itu, tetapi ia tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh
tubuhnya ditutupi selimut.” Apakah itu Ayah?” Bahkan ia masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntun Doni masuk ke dalam ruang tamu
rumahnya yang sangat ramai.
Doni duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu.
Pikirannya kosong sesaat, bahkan ia
seperti tidak bisa merasakan apa-apa.
Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah,” Ayah! Dia benar-benar ayahku!”
Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi
luka-luka mengerikan.
Walaupun ia sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda
saat ia melihat dengan jelas wajah orang yang ia tunggu-tunggu. Ayahnya kini
tinggal jasad, tak ada lagi hembusan nafas. Ibunya pinsan seakan tidak percaya
melihat suaminya pulang tinggal jasad tanpa nyawa lagi. Kemudian Doni berdiri
dari duduknya lalu berlari dengan kaki pincangnya tanpa peduli orang-orang yang
berada disekelilingnya menuju kamar tidurnya. Ia merasa hatinya telah
luluhlantak seperti gempa yang meluluhlantakan kota ayahnya merantau yang
membuat ayahnya meninggal. Dikamar tidurnya Doni hanya menangis, air matanya
mengalir deras karena terpukul dengan kepulangan ayahnya yang hanya jasad tanpa
nyawa lagi .
Setelah setengah jam Doni menangis dikamar yang tak ada orang
yang peduli karena orang-orang sedang mengurus jasad ayahnya Doni, ia keluar
dari kamarnya kemudian melihat jasad ayahnya lagi yang telah selesai
dimandikan.
Keadaan itu membuat Doni berpikiran bahwa tak ada gunanya
menangisi orang yang telah tiada, meski perasaan kecewa,marah,tidak ikhlas
kehilangan seorang ayah ia mecoba untuk tegar dan mengikhlaskannya. Ia mengusap
air mata dipipinya, berhenti menangis namun masih saja pipinya dibasahi air
mata karena masih ada rasa tidak ikhlas didalam hatinya yang telah ia coba
tepis semua perasaan itu.
Kemudian Doni ikut warga kemakam untuk memakamkan ayahnya.
-_TAMAT_-
No comments:
Write komentar