Monday, February 19, 2018

MENANTI KABAR AYAH

 



MENANTI KABAR AYAH

Awal tahun  lalu saat pergi merayakan tahun baru dengan ayah tercinta, Doni yang berboncengan dengan ayahnya mengalami kecelakaan dipertengahan jalan yang waktu itu sangat ramai kendaraan yang berlalu lalang, ban motor yang dibawa ayahnya pecah, sesaat setelah melewati jalan yang berlubang  karena waktu itu dalam keadaan kecepatan tinggi,sehinngga ayahnya tidak dapat mengontrol laju motornya sehinnga terjatuh , ayahnya yang mengendarai motornya terpental kepinggir jalan namun Doni terseret motor ketengah jalan. Awalnya Doni hanya menderita luka tidak cukup parah  , namun naas saat ia akan bangun ada mobil pick-up melaju kencang dari arah yang berlawanan sopir mobil pick-up tidak menyadari kalau didepannya ada anak yang tergeletak ditengah jalan, kaki kanan Doni  tertelindas mobil pick-up itu, yang menyebabkan kakinya patah. “ Anakkuuuuu…………….” Teriakan sang ayah yang saat itu melihat dengan jelas kaki anaknya tertelindas mobil, tidak lama setelah kejadian itu orang – orang datang membantu membawa Doni dan ayahnya ke Rumah Sakit.
Ayahnya hanya menderita lecet- lecet sehinnga diperbolehkan pulang , namun Doni yang kaki kanannya patah harus dirawat dengan biaya yang tidak sedikit , ayahnya memberi kabar kepada ibunya jika mereka kecelakan, Ibunya datang ke Rumah Sakit.
Setelah beberapa lama dirawat dan kaki kanannya belum sembuh total karena ayahnya tidak mampu lagi membayar biaya perawatannya, sehingga diputuskan untuk membawa ia pulang. Kaki kanannya  tidak sembuh seperti semula , ia  harus berjalan pincang dengan tongkat.
Tiga bulan kemudian, ayahnya di berhentikan bekerja di pabrik karena sering tidak masuk kerja untuk merawat anaknya, ibunya tidak sanggup bila merawatnya sendirian sehingga ayahnya  harus membantunya yang menyebabkan sering tidak masuk kerja.
Setelah ayahnya tidak bekerja di pabrik lagi , keuangan keluarga Doni memburuk, karena tidak kuat dengan keadaan itu, pada suatu malam ayahnya Doni memutuskan untuk pergi merantau, namun ayahnya  tidak memberitahukan kepada anak dan istrinya bahwa ia pergi merantau, ia hanya berpamitan pergi untuk membeli kopi. Ayahnya Doni pergi membawa tas kecil berisi pakaian yang telah disiapkan didepan rumahnya. Doni dan ibunya tidak mengetahui jika ayahnya pergi merantau bukan membeli kopi. Saat akan melangkah keluar dari halaman rumahnya ayahnya Doni bertemu tetangga dekatnya yang saat itu lewat, “ kamu mau kemana ?” Tanya tetangga “ saya mau pergi merantau kekota kecil di sebelah pulau ini “ jawab ayahnya Doni.
Doni dan ibunya menunggu ayahnya pulang, sampai larut malam dia belum juga pulang, “ Bu, ayah kok belum pulang ya ? Tanya Doni, “ paling ayahmu dipos ronda ikutan siskamling, sudah sana tidur nanti juga ayahmu pulang “ jawab ibunya Doni, Donipun pergi kekamarnya dan tidur.
Pagi hari datang, waktu sarapanpun tiba, biasanya tidak sampai menunggu Doni, ayah dan ibunya sudah dimeja makan untuk menikmati masakan ibunya, namun kali ini ayahnya tidak ikutan sarapan pagi, “ ayah kemana bu ? “ Tanya Doni , “ mungkin ayahmu pergi pagi-pagi sekali sebelum ibu bangun  memasak untuk cari nafkah “ jawab ibu, Doni percaya dengan kata-kata ibunya. Makan malam sudah siap meski hanya dengan nasi dan garam saja, yang biasanya waktunya berkumpul semua anggota keluarga, namun ayahnya belum juga pulang,
“ bu, sudah waktunya makan kok ayah belum juga pulang, apa ayah masih mencari uang ?” Tanya Doni
“ ya sudah, kita makan dulu, nanti juga ayah pulang “ jawab ibu. Sampai makan malam selesai ayah Doni belum juga pulang, mereka berdua memutuskan untuk mencarinya.
Saat akan menutup pintu depan rumahnya tetangga dekatnya datang sambil membawa makanan karena telah masak banyak, “ kalian mau kemana ?, ini aku membawa makanan untuk kalian berdua “ tanya tetangga itu , “ aduh, terimakasih banyak ya, jadi ngrepotin, kami mau cari ayahnya Doni dari tadi pagi belum pulang “
“ lohhhh” tetangga itu heran “ bukanya suamimu pergi merantau “
“ merantauuu ?? “ ibu Doni kaget “ kata siapa ?, suamiku tidak bilang kalau mau pergi merantau , kamu tahu darimana suamiku pergi merantau ?”
“ orang suamimu sendiri yang bilang tadi malam ketika mau berangkat kepadaku kok,katanya dia akan merantau kekota kecil sebelah pulau ini” jawab tetangga itu “ ya sudah , aku pulang dulu ya “
Doni menangis mendengar jika ayahnya pergi merantau, dan ibunya shok mendengar itu semua dari tetangganya. Dengan rasa kecewa karena suaminya tidak berpamitan kalau mau pergi merantau sambil mengajak Dino masuk kedalam rumah.
Pagi harinya, Doni duduk melamun diruang depan sendirian menanti ayahnya pulang, namun sampai sore hari ayahnya belum juga datang.
Doni duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam ke-empatnya Doni termangu didepan pintu rumahnya, menunggu ayah.

Ayahnya pergi lima hari yang lalu kesuatu tempat di luar kota, dan tiga hari setelah keberangkatan ayahnya, terjadi gempa hebat yang meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan ayahnya.
Hampir seluruh tetangga iba melihat Doni , anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar kepastian sang ayah.


Pagi ini adalah hari kesembilan setelah berita kejadian gempa itu, namun Doni belum mendapatkan kabar tentang ayahnya. Setelah sarapan pagi, ia kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan ini ia lakukan memeluk lutut di depan pintu  kamarnya, tak sabar menanti kepastian kabar ayah.
Setiap hari, jantungnya berdetak lebih cepat jika mengingat betapa dahsyatnya gempa itu. Apakah Ayah selamat? Atau . . . . Kalimat semacam itu yang selalu muncul dalam pikirannya, lalu sebuah kalimat doa yang selalu terucap dalam hatinya yang kemudian ia amini.

Tubuhnya bercucuran keringat dingin. Itu ketika ia mengingat masa-masa bersama ayah. Ia  gelisah, mengapa  belum juga mendapat kabar tentang Ayah?” Lalu seperti biasa,berdoa pada Yang Maha Kuasa.
Tepat pukul 10.00, saat ia sedang melamun tiba-tiba ada keramaian yang membuyarkan lamunannya, rangkaian kenangan tentang ayah yang sedang ia lamunkan  terurai seiring semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumah, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba jantungnya berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadinya tak berirama lagi.
Sudah sembilan hari ia menunggu, dan akhirnya ia akan melihat lagi wajah ayahnya, dia yakin, sangat yakin bahwa ayahnya ada didalam mobil putih itu.

Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang dirasakan, ia berlari menuju depan rumahnya yang entah mengapa ia merasa lebih jauh dari biasanya.
Ia  membuka pintu depan. Sepertinya ia sudah ditunggu.
Entah dengan sengaja atau tidak, seorang wanita memeluk tubuhnya dengan erat, sangat erat. Sampai-sampai tubuhnya terasa sakit karena pelukan wanita itu yang sangat erat, wanita itu mengelus-elusnya sambil samar-samar berkata Sabar ya! Kamu yang sabar! ditengah-tengah isakannya tangisnya. Doni merasa ada yang menetes didahinya, rupanya air mata wanita , wanita yang memeluknya erat.
Wanita itu melepas pelukannya, tapi iapun tak melakukan apa-apa selain berdiri di depan wanita yang merupakan tetangga terdekatnya. Doni bingung saat ia melihat sekeliling rumahnya, ada banyak sekali warga. Wajah mereka murung, sedih, dan bahkan ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Jantungnya  seperti berhenti berdetak. Pikirannya mulai tak karuan “apa yang kira-kira terjadi pada ayah??”. Entah bagaimana ekspresinya saat ini, ia bahkan tak sempat mengaturnya.
Beberapa saat kemudian, lewatlah empat orang pria berpakaian putih. Seperti para perawat. Mereka membawa besi persegi panjang, ia tak tahu apa nama besi persegi panjang itu, tetapi ia  tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut.” Apakah itu Ayah?” Bahkan ia masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntun Doni masuk ke dalam ruang tamu rumahnya yang sangat ramai.
Doni duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu. Pikirannya  kosong sesaat, bahkan ia seperti tidak bisa merasakan apa-apa.

Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah,” Ayah! Dia benar-benar ayahku!” Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi luka-luka mengerikan.
Walaupun ia sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda saat ia melihat dengan jelas wajah orang yang ia tunggu-tunggu. Ayahnya kini tinggal jasad, tak ada lagi hembusan nafas. Ibunya pinsan seakan tidak percaya melihat suaminya pulang tinggal jasad tanpa nyawa lagi. Kemudian Doni berdiri dari duduknya lalu berlari dengan kaki pincangnya tanpa peduli orang-orang yang berada disekelilingnya menuju kamar tidurnya. Ia merasa hatinya telah luluhlantak seperti gempa yang meluluhlantakan kota ayahnya merantau yang membuat ayahnya meninggal. Dikamar tidurnya Doni hanya menangis, air matanya mengalir deras karena terpukul dengan kepulangan ayahnya yang hanya jasad tanpa nyawa lagi .
Setelah setengah jam Doni menangis dikamar yang tak ada orang yang peduli karena orang-orang sedang mengurus jasad ayahnya Doni, ia keluar dari kamarnya kemudian melihat jasad ayahnya lagi yang telah selesai dimandikan.
Keadaan itu membuat Doni berpikiran bahwa tak ada gunanya menangisi orang yang telah tiada, meski perasaan kecewa,marah,tidak ikhlas kehilangan seorang ayah ia mecoba untuk tegar dan mengikhlaskannya. Ia mengusap air mata dipipinya, berhenti menangis namun masih saja pipinya dibasahi air mata karena masih ada rasa tidak ikhlas didalam hatinya yang telah ia coba tepis semua perasaan itu.
Kemudian Doni ikut warga kemakam untuk memakamkan ayahnya.


                                                                                    -_TAMAT_-

No comments:
Write komentar